![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_6542577a464b6168456155~mv2_d_6000_4000_s_4_2.jpg/v1/fill/w_483,h_362,al_c,q_80,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/nsplsh_6542577a464b6168456155~mv2_d_6000_4000_s_4_2.jpg)
Photo of a number of cash and coins. Photo by Dmytro Demidko on Unsplash.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) di tahun 2024 telah didesain secara ekspansif, terarah, dan terukur dalam rangka mempercepat transformasi ekonomi. Transformasi ekonomi ini diharapkan dapat mengubah ekonomi menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong pembiayaan yang inovatif.
Melalui rapat Badan Anggaran (“Banggar”) Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) Indonesia, disampaikan bahwa angka defisit akan ditetapkan pada Rp522,82 triliun. Dengan perkiraan Produk Domestik Bruto (“PDB”) 2024 sebesar Rp22.830,8 triliun, maka defisit berarti setara dengan 2,29% terhadap keseluruh PDB 2024.
Selain angka defisit, ditetapkan pula besar penerimaan perpajakan yang naik menjadi Rp2.309,65 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (“PNBP”) menjadi Rp492 triliun. Selain itu, pembiayaan anggaran yang ditetapkan dalam APBN 2024 menyentuh angka Rp522,82 triliun, dan juga kenaikan dari belanja pemerintah pusat menjadi Rp2.467,52 triliun.
Rincian dari penerimaan pajak sendiri adalah sebagai berikut: target untuk penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“PPnBM”) meningkat menjadi Rp811,36 triliun, serta target penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yang meningkat menjadi Rp27,18 triliun.
Pemenuhan target penerimaan pajak ini akan dilakukan melalui serangkaian kegiatan seperti optimalisasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”) melalui integrasi NIK dan NPWP, penguatan ekstensifikasi perpajakan, serta implementasi dan optimalisasi dari core tax administration system (“CTAS”).