Photo of a club in darkness. Photo by Long Truong on Unsplash.
Tidak lama ini, pengacara kondang sekaligus pengusaha, Hotman Paris, menyampaikan keterkejutannya mengenai besaran pajak hiburan yang tertuang dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (“UU HKPD”). UU HKPD sendiri mulai berlaku secara resmi per tanggal 5 Januari 2024.
Ketentuan yang tertuang di dalam UU HKPD menyebutkan bahwa besaran pajak barang dan jasa tertentu (“PBJT”) untuk jasa hiburan termasuk diskotik, karaoke, bar, mandi uap atau spa, dan kelab malam akan mengalami peningkatan yang dapat mencapai angka 75%. Tidak hanya itu, pajak hiburan di daerah Bali berpotensi mengalami kenaikan hingga 40%.
Berdasarkan unggahan dari Hotman Paris, beliau menyayangkan kenaikan ini karena dapat mempengaruhi sektor wisata. Jika kinerja sektor wisata menurun, maka akan berdampak ke kondisi masyarakat padahal provinsi Bali dianggap baru bisa ‘sembuh’ dari pandemi COVID-19.
Melihat respon dan pertanyaan dari Hotman Paris, Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) menyebutkan bahwa pajak hiburan sendiri merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, sehingga besaran pajak hiburan seluruhnya ditentukan oleh pemerintah daerah, sedangkan pemerintah pusat hanya bisa memberikan anjuran besaran minimal dan maksimal dalam UU HKPD.
Sedangkan melalui CNN Indonesia, pemerintah DKI Jakarta merespons protes terkait pajak hiburan dengan menyebutkan bahwa tarif pajak hiburan minimal untuk diskotek dan lainnya akan resmi dikenakan sebesar 40%. Hal ini sesuai dengan arahan dari UU HKPD yang hanya diikuti oleh pemerintah daerah masing-masing.