Photo of the law mallet on top of several paper money. Photo by Sasun Bughdaryan on Unsplash.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana yang membahas uji materiil atas Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dimana pemohon mendalilkan a quo inkonstitusional pada UU HKPD.
Berdasarkan ketentuan dalam UU HKPD, pengenaan tarif pajak atas barang dan jasa tertentu atau PBJT ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan objek pajak lainnya. Hiburan yang termasuk dalam kategori PBJT adalah diskotek, kelab malam,bar, mandi uap atau spa, dan karaoke, dan akan dikenakan tarif pajak minimum sebesar 40% dan maksimum sebesar 75%.
Menurut paparan dari pemohon, Santoso Setyadji yang merupakan sebuah pengusaha karaoke keluarga, pengenaan tarif pajak yang diskriminatif ini berpotensi untuk berpengaruh kepada konsumen yang nantinya masih akan dikenakan tarif pajak minimal 40%. Sehingga, pemohon menilai bahwa UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 ditambah bahwa UU HKPD juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Balasan dari Hakim Konstitusi, Arsul Sani dan Enny Nurbaningsih, atas permohonan tersebut yakni untuk memperkuat dan memperbaiki kedudukan hukum. Hal ini dapat dilakukan dengan menyesuaikan anggaran dasar perusahaan dan untuk menjelaskan berbagai kerugian yang dapat dihadapi oleh perusahaan dan juga pelaku usaha.
Hakim Konstitusi menyarankan agar pemohon menyampaikan sendiri-sendiri dikarenakan ada beberapa permohonan. Penyampaian sendiri-sendiri dapat memperkuat permohonan dan membuat permohonan lebih argumentatif. Oleh karena itu, pemohon diberikan waktu untuk memperbaiki permohonan tersebut, yakni selama 14 hari kerja yang akan jatuh pada tanggal 13 Maret 2024.