
Photo of bottled drinks. Photo by Markus Spiske on Unsplash.
Pemerintah kini tengah menyiapkan kebijakan baru berupa bea keluar untuk emas dan batu bara serta penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebagai langkah memperluas basis penerimaan negara.
Kebijakan tersebut diambil untuk menjaga kinerja penerimaan di tengah tekanan eksternal dan kebutuhan hilirisasi. Potensi penerimaan dari bea keluar batubara diperkirakan akan lebih besar daripada emas karena nilai ekspornya jauh lebih tinggi. Meski demikian, rencana bea keluar emas telah memiliki detail awal dengan kisaran tarif 7,5% hingga 15%, terutama untuk produk yang masih mentah seperti dore, granules, cast bars, dan minted bars.
Bea keluar emas ditujukan untuk menangkap nilai tambah yang selama ini hilang akibat ekspor produk setengah jadi. Perkiraan potensi penerimaan berada pada kisaran konservatif sekitar Rp1,5 triliun sampai dengan Rp2 triliun per tahun, tergantung pada nilai ekspor dan rincian tarif yang diterapkan.
Kebijakan ini juga dinilai sejalan dengan agenda hilirisasi pemerintah karena pengenaannya difokuskan pada tahap awal proses produksi, sementara sektor yang sudah berada ada tahap lanjutan seperti produk perhiasan tidak menjadi objek bea keluar.
Sementara itu, potensi pendapatan dari bea batubara diperkirakan jauh lebih besar mengingat nilai ekspornya mencapai US$22 miliar dalam sembilan bulan di tahun 2025. Penerimaan kebijakan ini bisa masuk ke kisaran belasan hingga puluhan triliun rupiah.
Untuk MBDK, pemerintah juga menyiapkan skema cukai dengan potensi pendapatan yang sebenarnya dapat mencapai puluhan triliun jika mengikuti standar pungutan cukai negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), namun target awal diperkirakan sekitar Rp3 triliun sampai dengan Rp4 triliun agar industri memiliki waktu untuk menjaga fungsi pengendalian konsumsi.

