
Photo of a person counting cash money. Photo by Alexander Grey on Unsplash.
Penerapan compliance risk management (CRM) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dinilai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum optimal dalam mendukung efektivitas penagihan pajak.
Sistem ini belum mampu memanfaatkan data kependudukan dan informasi aset secara maksimal, sehingga petugas pajak kerap kesulitan menelusuri Wajib Pajak (WP) yang menunggak. Kondisi tersebut juga menunjukkan belum adanya pembaruan data yang memadai untuk mengukur kemampuan bayar WP serta mendukung kegiatan penagihan.
Masalah lain terlihat dari masih banyaknya ketetapan pajak yang belum tertagih meski telah jatuh tempo, dengan nilai mencapai Rp323,85 miliar. Kurangnya koordinasi antar direktorat di DJP dalam memetakan data dan memperbarui sistem CRM membuat upaya penagihan berjalan tidak efisien.
Oleh karena itu, pembaruan sistem data diperlukan agar informasi kondisi keuangan wajib pajak dapat dimanfaatkan secara akurat untuk mempercepat penyelesaian piutang pajak.
Kinerja penerimaan pajak juga menunjukkan penurunan, terutama dari sektor konsumsi. Rasio daya serap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak atas konsumsi (VAT Gross Collection) pada kuartal III/2023 turun menjadi 45,2%, sementara tingkat tax buoyancy sepanjang Januari-September 2025 tercatat -0,88. Hal ini mengindikasikan kemampuan pajak dalam merespon pertumbuhan ekonomi nasional masih lemah.
Kemudian, sebagai langkah optimalisasi penerimaan negara, pemerintah mempertegas aturan mengenai pemenuhan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui Peraturan Pemerintah (PP) 44/2025 yang mengatur penghentian layanan bagi PNBP di tengah tantangan pemungutan pajak yang semakin kompleks.

