Aji Widya Firmansyah
First Place Winner of MIB Article Writing Competition 2022
*Article only available in Bahasa Indonesia
Dewasa ini, permasalahan yang ada sangat kontradiktif dengan situasi dan kondisi pada kurun waktu sebelumnya. Pasalnya, pandemi COVID-19 mengakibatkan transformasi lanskap ekonomi dan model bisnis yang telah ada. Ditambah lagi, masalah ketersediaan (supply) terganggu akibat adanya pandemi, perang, dan geopolitik global. Sementara, permintaan (demand) terus meningkat sehingga mengakibatkan kompleksitas yang tinggi bagi perekonomian nasional (Kemenkeu, 2022). Inflasi juga merupakan ancaman serius di tengah permasalahan ekonomi global. Data di Bank Indonesia (“BI”) pada Oktober 2019 menunjukkan tingkat inflasi Indonesia berada di angka 3.13%. Sedangkan pada Oktober 2022 naik drastis hingga menyentuh angka 5.71%. Hal itu menunjukkan luasnya dampak dari ketidakstabilan demand and supply akibat adanya pandemi dan masalah geopolitik Rusia-Ukraina.
Kerumitan lain yang dihadapi Indonesia berasal dari sektor ekonomi digital. Besarnya potensi dan kompleksitas ekonomi digital mengharuskan otoritas pajak untuk adaptif. Pemerintah harus cepat dalam menangkap dan menggali besarnya potensi yang ada. Hal itu dibuktikan dengan hasil riset dari Google, Temasek, dan Bain & Company bahwa value dari ekonomi digital Indonesia terbesar di Asia tenggara di mana menyentuh angka US$70 miliar pada 2021 (Kemenperin, 2022). Tahun 2022, value ekonomi digital Indonesia meningkat menjadi US$77 miliar dan dapat mencapai angka US$130 miliar pada 2025, di mana e-commerce sebagai promotor utama (Ahdiat, 2022). Terdapat potensi pajak yang besar di tengah tumbuhnya ekonomi digital Indonesia, seperti PPN PMSE, cryptocurrency, fintech, UMKM, marketplace, dan masih banyak lagi.
Tidak cukup sampai disitu, permasalahan lain terdapat pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (“BBM”) di Indonesia. Hal tersebut berdampak pada kenaikan perlahan harga komoditas pangan sehingga masyarakat miskin tercekik. Tidak hanya itu, kenaikan harga BBM dapat meningkatkan angka inflasi yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat konsumsi masyarakat, dan berimplikasi pada sisi investasi. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian Said (2015) bahwa kenaikan harga BBM berimplikasi pada sisi konsumsi dan pengeluaran bagi masyarakat berpendapatan rendah. Penelitian lain yang dilakukan Pribadi & Mustikawati (2017) menunjukkan hasil bahwa harga world crude oil, dow jones industrial average, dan inflasi secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap harga saham perusahaan tambang, konsumsi, dan transportasi di Bursa Efek Indonesia.
Melihat permasalahan yang terjadi, pajak seyogyanya dapat berjalan sesuai fungsinya. Tak hanya fungsi budgetair, pajak harus secara bersamaan menjalankan fungsi regulerend untuk mengatur kebijakan investasi, produksi, konsumsi, maupun fasilitas pajak demi keringanan masyarakat. Selain itu, fungsi stabilitas juga harus terimplementasikan dengan baik agar dapat mengatur tingkat inflasi dan stabilitas harga. Saat awal munculnya COVID-19, pemerintah sigap merespon dengan pemberian insentif pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan ("PMK") Nomor 44/PMK.03/2020. Kebijakan tersebut merupakan salah satu langkah dalam bidang perpajakan. Jenis insentif yang dikeluarkan berupa Pajak Penghasilan ("PPh") 21 Ditanggung Pemerintah ("DTP"), diskon angsuran PPh 25, PPh final Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ("UMKM") DTP, restitusi Pajak Pertambahan Nilai ("PPN") dipercepat, dan lain sebagainya. Harapannya, insentif pajak dapat mendorong daya beli masyarakat yang terganggu dan cenderung menurun (Indahsari & Fitriandi, 2021).
Namun, dalam menghadapi tantangan ekonomi dan ketidakpastian global, pemerintah selaku stakeholder memerlukan strategi yang lebih ampuh. Pemerintah merupakan komponen penting dalam setiap permasalahan suatu negara. Hal itu dapat dilakukan melalui inovasi kebijakan perpajakan di setiap sektor permasalahan. Selain itu, langkah optimalisasi insentif pajak juga merupakan alternatif yang sempurna. Harapannya, dampak dari kebijakan dan insentif yang dikeluarkan dapat berimplikasi secara luas terhadap seluruh permasalahan yang terjadi sehingga Indonesia dapat bersaing dalam kancah internasional meskipun diterpa kompleksitas ekonomi yang tinggi. Maka dari itu, timbul pertanyaan terkait inovasi kebijakan apa saja yang dapat diadopsi oleh pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi dan ketidakpastian global? Lalu optimalisasi insentif pajak seperti apa yang sekiranya dapat berimplikasi secara luas terhadap permasalahan yang ada?
Kebijakan Perpajakan yang Ideal
Langkah pertama yang dapat dilakukan pemerintah yaitu melakukan percepatan atas realisasi kenaikan PPN menjadi 12% dan penurunan tarif PPh badan menjadi 20%. Pasalnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2021, terdapat kalimat bahwa tarif PPN akan menjadi 12% paling lambat pada tahun 2025. Di tengah tantangan ekonomi dan ketidakpastian global, pemerintah perlu mengatur daya konsumsi rumah tangga dan perusahaan untuk menekan inflasi melalui pajak. Mempercepat kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hal itu akan berimplikasi positif bagi penerimaan pajak dari sisi konsumsi.
Hal tersebut sejalan dengan alasan pemerintah saat menaikkan tarif PPN menjadi 11% di mana hal itu diperlukan untuk menekan inflasi pada tahun berikutnya dan menambah penerimaan negara. Terlebih lagi, rata-rata tarif PPN yang digunakan negara di dunia itu sebesar 15,6% dan negara dengan ekonomi maju sebesar 18% (Lim, 2020). Maka dari itu, pemerintah hendaknya mempercepat kenaikan tarif PPN 12% demi terjaganya inflasi, optimalisasi penerimaan, dan meningkat persaingan di kancah internasional.
Selanjutnya, dari sisi penurunan tarif PPh badan menjadi 20% seharusnya dapat direalisasikan. Pasalnya, dalam UU Nomor 2 Tahun 2020, terdapat kalimat yang menyatakan bahwa pada tahun 2022 tarif PPh badan akan menjadi sebesar 20%. Pemerintah beralasan atas batalnya kebijakan tersebut dikarenakan tarif PPh badan Indonesia cenderung lebih rendah dibandingkan negara lain. Namun, pemerintah seharusnya dapat lebih bijak dalam membuat kebijakan di mana atas kenaikan tarif PPN harus diimbangi dengan turunnya tarif PPh. Tidak selayaknya pemerintah selaku stakeholder menaikkan tarif dari kedua jenis pajak tersebut dikarenakan akan dapat berimplikasi negatif bagi perekonomian negara.
Walaupun pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penurunan tarif PPh badan dapat mengurangi penerimaan negara secara signifikan, seharusnya pemerintah dapat melihat dari sisi keringanan bagi para perusahaan di mana akan menyelamatkan mereka dari krisis serta dapat meningkatkan iklim investasi domestik. Selain itu, penghindaran pajak dapat terhindarkan manakala tarif pajak semakin rendah. Hal itu dapat didukung dengan penelitian yang dilakukan Pohan (2009) di mana tarif pajak merupakan alasan dibalik perilaku penghindaran pajak dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tarif pajak berpengaruh signifikan positif terhadap penghindaran pajak. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya merealisasikan penurunan tarif PPh badan bersamaan dengan realisasi kenaikan tarif PPN.
Penguatan Big Data Perpajakan Melalui AEoI
Selanjutnya, dalam menghadapi tantangan ekonomi dan ketidakpastian global, khususnya di era digitalisasi, pemerintah memerlukan suatu strategi. Strategi tersebut adalah dengan cara penguatan big data perpajakan melalui Automatic Exchange of Information (“AEoI”). Penggunaan AEoI bertujuan untuk meningkatkan transparansi perpajakan, meminimalisir penghindaran pajak, dan optimalisasi potensi penerimaan. Sejalan dengan statement Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa analisis dan pertukaran informasi data memiliki urgensitas yang tinggi sejak berkembanganya digitalisasi (Kurniati, 2021). Hal itu bertujuan untuk memperkaya dan meningkatkan potensi penerimaan serta basis data perpajakan untuk meminimalisir risiko.
Praktik penghindaran pajak merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan bagi negara. Pasalnya, banyak potensi penerimaan yang terbuang karena tindakan tercela tersebut, seperti penggelapan pajak maupun pengalihan harta ke negara tax haven. Negara yang pertama kali menerapkan AEoI adalah Amerika Serikat (“AS”). Hal itu mengacu pada Foreign Account Tax Compliance Act yang merupakan undang-undang di AS yang ditujukan untuk wajib pajak yang mengalihkan hartanya ke negara tax haven (Selvi, 2018). AEoI memiliki urgensitas yang tinggi untuk diimplementasikan di sebuah negara berkembang untuk mencegah dan meminimalisir adanya aliran dana gelap (Urinov, 2015).
AEoI dan Big Data merupakan satu kesatuan utuh untuk meningkatkan transparansi perpajakan. Dengan adanya AEoI sebagai big data, harapannya seluruh data informasi wajib pajak yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak (“DJP”) dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut akan secara perlahan berdampak bagi praktik penghindaran pajak di Indonesia. Dari hal tersebut, besarnya potensi ekonomi digital Indonesia dapat tercapture dengan maksimal yang mana dapat berpengaruh bagi penerimaan negara. AEoI diharapkan mampu mengoptimalkan transparansi pelaporan perpajakan dan memaksimalkan potensi dari sektor pajak yang penghasilannya terdapat di luar yuridiksi Indonesia (Selvi, 2018). Pada akhirnya, tantangan ekonomi dan ketidakpastian global dapat teratasi secara optimal dengan adanya AEoI sebagai big data perpajakan Indonesia.
Pengenaan Windfall Profit Tax
Harga bahan bakar fosil telah meningkat secara signifikan sejak invasi Rusia ke Ukraina. Alternatif yang dapat digunakan oleh pemerintah adalah mengenakan pajak atas perusahaan migas dan batubara yang mengalami lonjakan keuntungan di tengah kenaikan seluruh harga komoditas. Disaat bisnis dan rumah tangga tertekan, perusahaan tersebut justru mendapatkan profitabilitas yang tinggi. Maka dari itu, diperlukan pengenaan pajak bernama windfall profit tax. Hal itu dilatarbelakangi atas asas keadilan bagi perusahaan yang mendapat windfall profit membayar pajak yang lebih besar (Baunsgaard & Vernon, 2022).
Indonesia juga harus dapat melihat komparasi kebijakan di berbagai negara yang telah mengimplementasikan windfall profit tax. Di Yunani, terdapat tarif retribusi 90% atas windfall profit dari produsen listrik domestik untuk periode Oktober 2021–Maret 2022. Selain itu, Inggris juga mengenakan retribusi keuntungan energi yang diterbitkan pada Juli 2022 dan akan berakhir pada akhir 2025 di mana merupakan pajak tambahan 25% atas keuntungan minyak dan gas di atas pajak yang ada, menjadikan tarif gabungan menjadi 65%. Hungaria mengumumkan windfall profit tax sementara untuk 2022 dan 2023 atas “keuntungan ekstra” dari perusahaan energi sebesar 40%. Terakhir, Italia pun ikut mengeluarkan pengenaan pajak satu kali sebesar 25% untuk perusahaan energi bagi yang mengalami peningkatan laba perusahaan lebih dari €5 juta antara Oktober 2021 dan April 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (Baunsgaard & Vernon, 2022).
Berdasarkan permasalahan dan komparasi yang ada, Indonesia memiliki urgensitas yang tinggi untuk mengenakan windfall profit tax. Selain perusahaan migas dan batubara mengalami lonjakan keuntungan, stabilitas harga komoditas juga tidak teratur. Hal itu terbukti dari meroketnya harga minyak goreng, perusahaan batubara yang lebih memilih melakukan ekspor, dan perusahaan sawit juga melakukan ekspor berlebih yang mengakibatkan harga komoditas melambung. Problematika itulah yang dapat menjadi alasan bagi pemerintah untuk segera mengenakan windfall profit tax. Terlebih lagi, kondisi saat ini merupakan kondisi yang ideal untuk mengenakannya sebelum terjadi resesi pada nantinya.
Dari seluruh latar belakang diatas, dapat disimpulkan bahwa Indonesia sangat potensial untuk menerapkan kebijakan windfall profit tax. Namun, pemerintah harus berhati-hati dan selektif saat merumuskan kebijakan tersebut. Pasalnya, di tahun 2008 sempat ada wacana pengenaan pajak ini, tetapi pada akhirnya batal dikarenakan tidak memiliki kepastian hukum yang kuat. Pemerintah juga harus dapat menjaga iklim investasi dan tidak memberatkan dari sisi pengusaha. Nantinya, penerimaan yang diperoleh negara atas perusahaan migas dan batubara dapat dialokasikan kembali untuk subsidi, bansos, serta bantuan lainnya. Hal itu bertujuan untuk menjalankan fungsi pajak sebagai redistribusi pendapatan di mana akan berimplikasi pada kestabilan harga BBM, komoditas, dan konsumsi masyarakat.
Optimalisasi Insentif Pajak
Kondisi ekonomi yang melemah membuat Kementerian Keuangan selaku pihak pemerintah memutuskan untuk memberikan insentif pajak melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (“PEN”). Hal ini bertujuan untuk memberikan dukungan bagi para pelaku usaha dalam rangka mengatasi dan memulihkan kondisi perekonomian. Pada tahun 2020, insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah telah dimanfaatkan dan membantu lebih dari 460 ribu wajib pajak (Direktorat Jenderal Anggaran, 2021). Insentif tersebut diharapkan dapat membantu wajib pajak terdampak ketidakpastian global berupa pandemi Covid-19. Sudah seharusnya pajak memainkan peranannya untuk membantu masyarakat yang kesulitan menghadapi tantangan ekonomi.
Dalam upaya optimalisasi insentif pajak, setidaknya pemerintah harus tetap memperpanjang beberapa insentif pajak hingga 2023 ataupun hingga ekonomi pulih. Dari sisi wajib pajak, mereka menginginkan pemerintah untuk tetap memperpanjang insentif sampai tahun depan. Namun, dalam memperpanjang insentif, pemerintah harus lebih selektif memilih kriteria penerimanya. Pasalnya, jika pemerintah memberikan insentif secara tidak selektif, akan banyak tax expenditure yang terbuang. Dengan adanya peningkatan tax expenditure, maka dalam jangka pendek akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak sehingga dapat menurunkan tax ratio (Rinaldi, 2019). Sejalan dengan prinsip keadilan dan kelayakan, pemerintah dapat memilah siapa yang memiliki urgensitas tinggi untuk didahulukan dalam pemberian insentif pajak tersebut. Misalnya, dengan penghapusan jenis insentif yang sudah tidak relevan, pengetatan kriteria penerima, dan pengurangan jumlah klasifikasi lapangan usaha (“KLU”) penerima.
Dengan adanya kebijakan optimalisasi insentif secara tepat, akan menimbulkan win-win solution bagi pihak pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat menghemat tax expenditure, membantu masyarakat terdampak, dan memulihkan perekonomian nasional di tengah adanya ketidakpastian global. Dari sisi masyarakat, baik individu maupun pelaku usaha, mereka dapat menghemat uangnya untuk membayar pajak. Mereka bisa melakukan konsumsi yang mana akan membantu meningkatkan penerimaan PPN negara. Selain itu, mereka juga bisa memilih saving untuk melakukan investasi. Hal itulah yang menjadi solusi untuk mengatasi angka inflasi, stabilitas konsumsi, dan ekonomi. Dengan itu, pajak dapat berperan dengan baik dalam menjalankan fungsinya.
Contact Us
Marketing Communications at MIB
📧 marketing.communications@mib.group
📞 +6281911880099
MIB is a group of certified and registered professionals in Indonesia, where each member has a unique set of skills and expertise. Each member is independent, compliant with our standards, and responsible for the works and services provided to the clients.
Comments